Stalaktit dan stalakmit, di bukit Baru Sangia yang eksotis. Pemerintah setempat kini sedang merancang konsep wisata gunung agar publik tak hanya mengenal Kabaena dari usaha pertambangan saja. [abdi/kp]
Diyakini Punya Kandungan Emas, Hanya Orang Terpilih yang Bisa Berkunjung.
“Maha Sempurna Tuhan yang melukis Kabaena dengan sangat indahnya”.
Kekaguman seperti itulah yang bisa Anda lontarkan jika berkunjung di dua titik dataran tertinggi di Pulau Kabaena yakni, Gunung Batu Sangia dan Kampung Tangkeno. Konsep wisata gunung kini tengah dirancang agar publik tak hanya mengenal Kabaena karena ramainya usaha pertambangan, tapi juga karena wajahnya yang eksotis.
Secara administrasi, Pulau Kabaena adalah bagian dari wilayah Kabupaten Bombana. Ada enam kecamatan yang membentang dari sisi timur hingga selatan pulau dengan luas wilayah sekitar 873 kilometer persegi itu. Secara geografis, daerah ini terdiri dari banyak pegunungan dan daratan tinggi serta perbukitan. Penduduknya tak lebih dari 30 ribu jiwa. Banyak maha karya Tuhan yang menjadi kekayaan alam luar biasa yang dimiliki pulau yang hampir semua penduduknya beragama Islam itu.
Sentuhan teknologi dan modernitas kini sudah menjamah orisinilitas pulau itu. Akses telekomunikasi seluler sudah menjangkau beberapa desa, listrik juga sudah menerangi beberapa perkampungan. Yang paling terkini adalah raungan alat-alat berat yang dimiliki pengusaha pertambangan yang kian rajin mengeruk tanah Kabaena, menjualnya keluar negeri dan dibarter rupiah yang sangat banyak. Soal Kabaena yang katanya akan sejahtera, belum ada gejalanya sampai sekarang.
Meski begitu, masih banyak sisi eksotisme yang bisa kita jumpai jika Anda berkesempatan mengunjungi pulau itu. Sejak dulu, penduduk lokal mengenal beberapa tempat menarik yang mereka sebut sebagai lokasi wisata. Tempat-tempat itu ramai dikunjungi warga lokal hanya saat Lebaran saja. Ada Pantai Lanere di Batuawu, Kabaena Selatan, ada Pulau Sagori di Kabaena Barat, ada goa Batu Buri di Lengora, Kabaena Utara, Pantai Udu di Pongkalaero.
Seperti halnya sebuah pantai, suguhan pasir putih yang panjang dan ombak menjadi pemandangannya. Sedangkan Goa Batuburi mengandalkan relief-relief stalaktit dan stalakmit dan cerita bahwa fungsinya di zaman purba dulu sebagai tempat berlindung dari serangan musuh. Beberapa pertanda bahwa di dalam goa itu pernah ada kehidupan juga terlihat.
Di Pulau Kabaena punya sisi menarik lain yang jauh lebih indah jika dieksplorasi. Ada Puncak Batu Sangia yang terbangun dari sedimentasi batu gamping itu berdiri megah di puncak ketinggian Pulau Kabaena. gunung batu yang mirip Grand Canyon di Amerika itu masuk dalam wilayah Desa Tirongkotua, Kecamatan Kabaena. Untuk sampai di kaki gunung yang hanya memiliki ketinggian 1100 meter di atas permukaan laut itu (DPL), Anda harus berjalan kaki sekitar 5 kilometer dari desa terdekat.
Gunung ini berpuncak dua. Pemandangan unik yang disajikan dua bukit kembar tersebut terlihat jika mendarat di Pelabuhan Sikeli. Ini pintu gerbang kedua bagi Pulau Kabaena di pantai barat setelah Pelabuhan Dongkala di pantai timur. Bagi masyarakat Kabaena, gunung Batu Sangia adalah simbol kehidupan. Ada banyak petunjuk alam yang terbaca hanya dengan melihat fenomana alam melingkupi puncak batu itu.
Pekan lalu, dalam sebuah perjalanan jurnalistik, Kendari Pos mencoba mengunjungi Batu Sangia. Ternyata, tidaklah mudah. Mereka yang berkeinginan naik ke gunung ini haruslah memiliki fisik prima, nafas yang kuat juga punya mental kuat. “Soalnya, selalu ada kejadian atau sesuatu yang diluar nalar bisa kita lihat kalau mau ke Batu Sangia itu,” kata Gafur, anak muda Tirongkotua, yang sudah terbiasa menjelajah di hutan lereng Batu Sangia.
Batu Sangia ini punya segudang cerita. Ilfan Nurdin, anggota dewan syara Lembaga Adat Tokotua bertutur, Batu Sangia dulunya adalah tempat bermukimnya penduduk asli Pulau Tokotu’a atau yang sekarang ini disebut Pulau Kabaena. Penduduk Desa Tirongkotu’a dan Rahadopi, sebagai desa terdekat dari Batu Sangia dipercaya berasal dari Pulau Ternate.
“Saat Raja Sawerigading dari Luwuk datang menduduki Kabaena, sekitar tahun 1400-an, penduduk asli Kabaena kemudian memilih menyingkir dan menyatu dengan alam. Mereka kemudian menempati 7 daerah di Kabaena yang disebut sebagai Sangia,” kata Ilfan Nurdin. Pria yang juga keturunan raja I Tokotu’a ini menyebutkan, tujuh sangia itu adalah Sangia Wita di Gunung Sabampolulu, Sangia Sikeli di Sikeli, Sangia Tabaro di Langkema, Sangia Wumbu Onemoito di Tanjung Mongiwa, Sangia Reteno di Balo, Sangia Lembono di Muara, dan Sangia Batu Sangia.
Menurut hikayatnya, tujuh sangia ini bersaudara dan Sangia Batu Sangia itulah satu-satunya perempuan. Daerah di sekitar Batu Sangia itu disebut Kovonuano sedangkan penduduknya disebut Wakaokili. “Orang Kabaena percaya, bahwa tujuh Sangia itu sampai sekarang masih hidup dan ada, tiap tahun, saat Lebaran mereka berkumpul di Batu Sangia, karena itu adalah saudara perempuan mereka. Sangia itu dianggap sebagai manusia sakti, seperti cerita Nyi Roro Kidul di Jawa, yang keberadaanya sampai sekarang masih dipercaya, dan dianggap ada,” tutur Ilfan.
Untuk sampai ke Batu Sangia, kata Ilfan, ada dua cara yakni lewat jalur yang sekarang ini sudah dibuka oleh para pendaki dan penduduk serta yang kedua lewat sebuah gerbang. Sayangnya, gerbang ini hanya diperlihatkan oleh penjaga Batu Sangia kepada orang-orang terpilih. “Ada seperti seorang wanita di Tirongkotua bernama Wa Minii, itu sangat gampang kalau mau ke Batu Sangia. Ia seperti dituntun masuk lewat gerbang. Sayangnya, beliau sekarang sudah meninggal,” cerita Ilfan.
Di puncak Batu Sangia, ada lembah yang di dalamnya punya mata air yang tak kunjung kering. Uniknya, didalam sumber air itu, segala jenis ikan laut ada. Konon, di lereng Batu Sangia inilah Saweri Gading menemukan manusia yang berasal dari Bambu saat sedang berburu. Manusia itu dikemudian hari bernama Tebota Tulanggadi atau versi lain menyebutnya Daeng Sollangi, yang jadi Mokole atau raja di Kabaena.
Terlepas dari soal benar atau tidaknya hikayat itu, ada satu hal yang amat dipercaya masyarakat Kabaena tentang Batu Sangia. Seringkali, situasi alam yang terlihat di kawasan itu dikaitkan dengan apa yang akan terjadi. Seorang pelaut misalnya, cukup dengan melihat kabut yang melingkupi Batu Sangia, sudah bisa memutuskan untuk berlayar atau tidak. “Biar gerimis, angin atau hujan di laut, kalau Batu Sangia cerah, itu berarti di laut lepas juga cerah. Tapi kalau di pantai tenang tapi Batu Sangia berkabut dan hitam, jangan coba-coba berlayar. Keras ombak dan ada badai,” tambah Ilfan lagi.
Pria yang kini bekerja sebagai PNS di Bombana ini melanjutkan, petunjuk soal musim wabah dan penyakit juga bisa terlihat. Ketika sore hari, dan sinar matahari menerpa dinding batu sangia, dan jika memancarkan cahaya kuning emas, maka dalam waktu dekat akan terjadi musim pancaroba, wabah penyakit dan kematian. Begitu juga jika penduduk negeri akan menikmati panen yang melimpah, juga terbaca dari fenomena alam di Batu Sangia.
“Kalau mau ke Batu Sangia, jangan takabur, lisan harus dijaga. Membawa benda tajam itu dilarang. Kalau melanggar, maka siap-siap saja berhadapan dengan kejadian-kejadian yang tak lazim. Konon, di gunung itu ada ular raksasa tanpa ekor yang ditugasi menjaga benda-benda peninggalan. Banyak yang percaya, ada emas di puncak gunung batu sangia itu,” tukas lelaki sering mewakili Kabaena diberbagai acara adat nusantara ini.
“Maha Sempurna Tuhan yang melukis Kabaena dengan sangat indahnya”.
Kekaguman seperti itulah yang bisa Anda lontarkan jika berkunjung di dua titik dataran tertinggi di Pulau Kabaena yakni, Gunung Batu Sangia dan Kampung Tangkeno. Konsep wisata gunung kini tengah dirancang agar publik tak hanya mengenal Kabaena karena ramainya usaha pertambangan, tapi juga karena wajahnya yang eksotis.
Secara administrasi, Pulau Kabaena adalah bagian dari wilayah Kabupaten Bombana. Ada enam kecamatan yang membentang dari sisi timur hingga selatan pulau dengan luas wilayah sekitar 873 kilometer persegi itu. Secara geografis, daerah ini terdiri dari banyak pegunungan dan daratan tinggi serta perbukitan. Penduduknya tak lebih dari 30 ribu jiwa. Banyak maha karya Tuhan yang menjadi kekayaan alam luar biasa yang dimiliki pulau yang hampir semua penduduknya beragama Islam itu.
Sentuhan teknologi dan modernitas kini sudah menjamah orisinilitas pulau itu. Akses telekomunikasi seluler sudah menjangkau beberapa desa, listrik juga sudah menerangi beberapa perkampungan. Yang paling terkini adalah raungan alat-alat berat yang dimiliki pengusaha pertambangan yang kian rajin mengeruk tanah Kabaena, menjualnya keluar negeri dan dibarter rupiah yang sangat banyak. Soal Kabaena yang katanya akan sejahtera, belum ada gejalanya sampai sekarang.
Meski begitu, masih banyak sisi eksotisme yang bisa kita jumpai jika Anda berkesempatan mengunjungi pulau itu. Sejak dulu, penduduk lokal mengenal beberapa tempat menarik yang mereka sebut sebagai lokasi wisata. Tempat-tempat itu ramai dikunjungi warga lokal hanya saat Lebaran saja. Ada Pantai Lanere di Batuawu, Kabaena Selatan, ada Pulau Sagori di Kabaena Barat, ada goa Batu Buri di Lengora, Kabaena Utara, Pantai Udu di Pongkalaero.
Seperti halnya sebuah pantai, suguhan pasir putih yang panjang dan ombak menjadi pemandangannya. Sedangkan Goa Batuburi mengandalkan relief-relief stalaktit dan stalakmit dan cerita bahwa fungsinya di zaman purba dulu sebagai tempat berlindung dari serangan musuh. Beberapa pertanda bahwa di dalam goa itu pernah ada kehidupan juga terlihat.
Di Pulau Kabaena punya sisi menarik lain yang jauh lebih indah jika dieksplorasi. Ada Puncak Batu Sangia yang terbangun dari sedimentasi batu gamping itu berdiri megah di puncak ketinggian Pulau Kabaena. gunung batu yang mirip Grand Canyon di Amerika itu masuk dalam wilayah Desa Tirongkotua, Kecamatan Kabaena. Untuk sampai di kaki gunung yang hanya memiliki ketinggian 1100 meter di atas permukaan laut itu (DPL), Anda harus berjalan kaki sekitar 5 kilometer dari desa terdekat.
Gunung ini berpuncak dua. Pemandangan unik yang disajikan dua bukit kembar tersebut terlihat jika mendarat di Pelabuhan Sikeli. Ini pintu gerbang kedua bagi Pulau Kabaena di pantai barat setelah Pelabuhan Dongkala di pantai timur. Bagi masyarakat Kabaena, gunung Batu Sangia adalah simbol kehidupan. Ada banyak petunjuk alam yang terbaca hanya dengan melihat fenomana alam melingkupi puncak batu itu.
Pekan lalu, dalam sebuah perjalanan jurnalistik, Kendari Pos mencoba mengunjungi Batu Sangia. Ternyata, tidaklah mudah. Mereka yang berkeinginan naik ke gunung ini haruslah memiliki fisik prima, nafas yang kuat juga punya mental kuat. “Soalnya, selalu ada kejadian atau sesuatu yang diluar nalar bisa kita lihat kalau mau ke Batu Sangia itu,” kata Gafur, anak muda Tirongkotua, yang sudah terbiasa menjelajah di hutan lereng Batu Sangia.
Batu Sangia ini punya segudang cerita. Ilfan Nurdin, anggota dewan syara Lembaga Adat Tokotua bertutur, Batu Sangia dulunya adalah tempat bermukimnya penduduk asli Pulau Tokotu’a atau yang sekarang ini disebut Pulau Kabaena. Penduduk Desa Tirongkotu’a dan Rahadopi, sebagai desa terdekat dari Batu Sangia dipercaya berasal dari Pulau Ternate.
“Saat Raja Sawerigading dari Luwuk datang menduduki Kabaena, sekitar tahun 1400-an, penduduk asli Kabaena kemudian memilih menyingkir dan menyatu dengan alam. Mereka kemudian menempati 7 daerah di Kabaena yang disebut sebagai Sangia,” kata Ilfan Nurdin. Pria yang juga keturunan raja I Tokotu’a ini menyebutkan, tujuh sangia itu adalah Sangia Wita di Gunung Sabampolulu, Sangia Sikeli di Sikeli, Sangia Tabaro di Langkema, Sangia Wumbu Onemoito di Tanjung Mongiwa, Sangia Reteno di Balo, Sangia Lembono di Muara, dan Sangia Batu Sangia.
Menurut hikayatnya, tujuh sangia ini bersaudara dan Sangia Batu Sangia itulah satu-satunya perempuan. Daerah di sekitar Batu Sangia itu disebut Kovonuano sedangkan penduduknya disebut Wakaokili. “Orang Kabaena percaya, bahwa tujuh Sangia itu sampai sekarang masih hidup dan ada, tiap tahun, saat Lebaran mereka berkumpul di Batu Sangia, karena itu adalah saudara perempuan mereka. Sangia itu dianggap sebagai manusia sakti, seperti cerita Nyi Roro Kidul di Jawa, yang keberadaanya sampai sekarang masih dipercaya, dan dianggap ada,” tutur Ilfan.
Untuk sampai ke Batu Sangia, kata Ilfan, ada dua cara yakni lewat jalur yang sekarang ini sudah dibuka oleh para pendaki dan penduduk serta yang kedua lewat sebuah gerbang. Sayangnya, gerbang ini hanya diperlihatkan oleh penjaga Batu Sangia kepada orang-orang terpilih. “Ada seperti seorang wanita di Tirongkotua bernama Wa Minii, itu sangat gampang kalau mau ke Batu Sangia. Ia seperti dituntun masuk lewat gerbang. Sayangnya, beliau sekarang sudah meninggal,” cerita Ilfan.
Di puncak Batu Sangia, ada lembah yang di dalamnya punya mata air yang tak kunjung kering. Uniknya, didalam sumber air itu, segala jenis ikan laut ada. Konon, di lereng Batu Sangia inilah Saweri Gading menemukan manusia yang berasal dari Bambu saat sedang berburu. Manusia itu dikemudian hari bernama Tebota Tulanggadi atau versi lain menyebutnya Daeng Sollangi, yang jadi Mokole atau raja di Kabaena.
Terlepas dari soal benar atau tidaknya hikayat itu, ada satu hal yang amat dipercaya masyarakat Kabaena tentang Batu Sangia. Seringkali, situasi alam yang terlihat di kawasan itu dikaitkan dengan apa yang akan terjadi. Seorang pelaut misalnya, cukup dengan melihat kabut yang melingkupi Batu Sangia, sudah bisa memutuskan untuk berlayar atau tidak. “Biar gerimis, angin atau hujan di laut, kalau Batu Sangia cerah, itu berarti di laut lepas juga cerah. Tapi kalau di pantai tenang tapi Batu Sangia berkabut dan hitam, jangan coba-coba berlayar. Keras ombak dan ada badai,” tambah Ilfan lagi.
Pria yang kini bekerja sebagai PNS di Bombana ini melanjutkan, petunjuk soal musim wabah dan penyakit juga bisa terlihat. Ketika sore hari, dan sinar matahari menerpa dinding batu sangia, dan jika memancarkan cahaya kuning emas, maka dalam waktu dekat akan terjadi musim pancaroba, wabah penyakit dan kematian. Begitu juga jika penduduk negeri akan menikmati panen yang melimpah, juga terbaca dari fenomena alam di Batu Sangia.
“Kalau mau ke Batu Sangia, jangan takabur, lisan harus dijaga. Membawa benda tajam itu dilarang. Kalau melanggar, maka siap-siap saja berhadapan dengan kejadian-kejadian yang tak lazim. Konon, di gunung itu ada ular raksasa tanpa ekor yang ditugasi menjaga benda-benda peninggalan. Banyak yang percaya, ada emas di puncak gunung batu sangia itu,” tukas lelaki sering mewakili Kabaena diberbagai acara adat nusantara ini.
Sumber : www.sultrakini.com
No comments:
Post a Comment