Pada awal November ini, saya mengunjungi sebuah kota yang berumur
setidaknya 600 tahun di sebelah barat laut Surabaya. Kota ini seluruhnya
terbuat dari tanah liat.
Bukan hanya bangunannya, tetapi juga
berbagai peralatan rumah di kota ini terbuat dari tanah liat. Termasuk
pula tabungan atau celengan berukuran sekepalan tangan, dengan bentuk
wajah-wajah lucu. Yang besar berukuran sepelukan dua tangan, mengambil
rupa babi atau gajah, lagi-lagi berwajah lucu.
Dari
ini saja kita tahu para penghuni kota ini adalah orang-orang yang
periang, berselera humor. Juga ada patung-patung kecil yang kelihatannya
berfungsi sebagai mainan. Juga dengan pose dan ekspresi yang lucu.
Di kota ini juga pipa dan saluran dibuat dari tanah liat yang dibakar dengan suhu tinggi (high firing) sehingga kedap air. Puncak prestasinya adalah antara lain dua bangunan air yang menakjubkan.
Yang
pertama digali hingga sekitar enam meter ke bawah permukaan tanah.
Diduga ini adalah suatu permandian, tetapi terlanjur diberi nama yang
menyesatkan, yaitu Candi Tikus. Ukurannya 29x28 meter persegi.
Sedangkan
yang kedua adalah sebuah kolam, yang untungnya diberi nama yang sesuai,
yaitu Kolam Segaran, yang berarti "selautan", karena ukurannya yang
sangat besar, yaitu 65.625 m2 atau 6,5 hektare lebih. Kolam ini
berdinding setebal 1,6 m, terdiri dari batu bata yang disusun sangat
rapat tanpa siar.
Tinggi dindingnya sekitar 1 meter di atas tanah. Sedangkan tinggi dari dalam kolam hingga ke tepi atas dinding ini adalah 2,6 m.
Kota ini adalah suatu peradaban tanah liat.
Tanah
liat digunakan sebagai bahan bangunan monumental seperti candi dan
gerbang kota, hingga yang sekecil kepalan tangan, juga yang suci hingga
yang profan, yang ritual hingga ke benda sehari-hari. Kemampuan
peradaban ini mengolah tanah liat luar biasa: beragam bentuk yang
dihasilkan, juga beragam fungsi, serta beragam teknik pembakaran.
Tapi
kota yang saya kunjungi ini sudah punah. Hanya ada sisa-sisanya yang
terselip di antara suasana sangat tidak beradab. Inilah sisa-sisa ibu
kota kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, yang
diperkirakan runtuh pada masa antara 1518-1521 M.
Inilah
satu-satunya bukti nyata kota Hindu-Buddha di Indonesia. Pada
kerajaan-kerajaan lainnya tidak ditemukan peninggalan kota. Ada ratusan
candi di Mataram Kuno (Yogya dan sekitarnya di Dataran Kedu), tetapi
tidak ditemukan kotanya, meskipun prasasti mengatakan ada.
Begitu
juga dengan Tarumanagara, Sriwijaya, Kediri dan Singosari. Ini
pandangan yang saya terima dari Prof. Mundardjito, guru besar arkeologi.
Jadi, Situs Majapahit Trowulan ini tidak ada duanya di Indonesia.
Perannya sebagai salah satu tonggak sejarah perdaban di Indonesia,
khususnya di Pulau Jawa, tidak tergantikan oleh apa pun.
Pentingnya sama dengan Borobudur, kalau tidak melebihinya.
Namun,
sayangnya, mengunjungi tempat ini hanya menimbulkan rasa sedih. Museum
tidak mendapatkan cahaya dan sirkulasi udara yang layak. Anak-anak
berlari-lari di antara patung-patung kecil yang sangat rawan tersenggol
dan kalau jatuh pasti akan pecah terbelah. Keterangan tentang
masing-masing koleksi sangat minim, seadanya, dengan penyajian yang
sangat tidak menarik.
Memang, di negeri ini, hampir tiap kali
kita mengunjungi situs bersejarah atau museum, kita keluar dengan
kesedihan mendalam. Begitu rendah sejarah diperlakukan. Padahal, jika
ada satu hal yang membuat kita bangga menunjukkan kekayaan kita, hal
tersebut adalah merawat dan memamerkan peninggalan sejarah kita
sebaik-baiknya.
Sumber : id.berita.yahoo.com
No comments:
Post a Comment