Kalau orang Jakarta bilang mau ke Sabang, itu maksudnya pastilah Jl
Sabang, jalan pendek yang terkenal karena kulinernya. Nah, kalau secara
lebih luas Sabang yang dimaksud adalah Kota Sabang yang berada di ujung
barat Indonesia. Ya benar, Sabang seperti di lagu “Dari Sabang Sampai
Merauke” itu.
Sebenarnya kalau wisatawan bilang mau ke Sabang maksud mereka adalah
Pulau Weh – tempat kota Sabang berada. Sebab, kebanyakan dari mereka
tidak akan menginap di Sabang, melainkan di wilayah-wilayah pantai
seperti di Iboih atau di Sumur Tiga.
Setelah penantian panjang dan beberapa kali penjadwalan ulang,
akhirnya saya, Puput, dan Oliq berangkat ke Aceh pada hari libur Natal
yang lalu. Puput semangat 45 karena dia belum pernah ke Aceh sebelumnya.
Akhirnya sambil menggeret dua koper (satu koper merah besar berisi
peralatan diving Puput dan satu koper mungil berisi pakaian, pampers,
dan perlengkapan kami lainnya), sembari mencangking seorang anak lucu,
kami cabcus ke Banda Aceh.
Long story short, kami akan berangkat ke Pulau Weh sore itu juga
tanpa menginap di Banda Aceh terlebih dahulu. Tiket feri sudah dibelikan
pengemudi kami, Bang Kamal, lewat temannya, Sayuti. Ternyata oh
ternyata, punya tiket bukan jaminan. Tampaknya jumlah tiket yang dijual
melebihi kapasitas kapal. Jadi calon penumpang terpaksa mengantri di
depan kapal hingga diizinkan masuk. Bila sudah penuh, mereka yang sudah
punya tiket pun ga jadi berangkat.
Jadi deh kami desak-desakan di pinggir dermaga. Sempat juga dimarahi
Sayuti gara-gara ga cepet-cepet antri padahal koper kami udah
dimasukkan. Memang waktu itu ramainya luar biasa karena selain libur
panjang, juga bertepatan dengan Sabang Jazz Festival yang menurut
spanduk dihadiri Andien dan Dwiki Darmawan.
Untungnya kami bisa masuk ke kapal, walaupun Puput akhirnya ndeprok di lantai karena tidak dapat kursi. Pulau Weh here we come.
Kami dijemput staf Casa Nemo, akomodasi yang sudah kami booking
sebelumnya. Casa Nemo ini letaknya di Sumur Tiga, dekat dengan salah
satu homestay favorit lainnya Freddie’s. Untuk lebih jelas tentang Casa
Nemo ini nanti kami buatkan accommodation review-nya.
Sumur Tiga ini pantai yang bagus. Lautnya biru pasirnya putih. Ombak
memang sedang besar dan tinggi karena angin muson timur. Alhasil, Oliq
sempat keplepek ombak di pantai depan Casa Nemo. Sehari-hari pantai ini
lumayan sepi, namun ketika hari libur pantai menjadi ramai karena di
Sumur Tiga sekarang juga makin banyak penginapan, dibanding terakhir
kali saya ke sana. Tapi tentu saja standar ramainya tidak separah Ancol
atau Anyer.
Hari berikutnya Puput diving di Iboih dan Pulau Rubiah – dia akan
tulis lengkap cerita diving di Pulau Weh. Saya sama Oliq bolak balik aja
ke pantai Sumur Tiga. Besoknya, baru kami bertiga motor-motoran (100
ribu sehari) keliling Pulau Weh.
Tujuan pertama adalah Tugu Nol Kilometer. Tugunya sih….ya gitu
deh…tapi paling tidak kami pernah ke ujung paling barat Indonesia.
PR-nya tinggal ujung paling timur nih alias Merauke. Di Tugu Nol KM ini
banyak wisatawan memakai kaos I love Lhokseumawe (yang pake tanda hati
itu). Tampaknya mereka adalah wisatawan lokal dari Aceh Utara tersebut.
Yup benar, yang lagi heboh sama isu “ngangkang”.
Tidak lama di Tugu, kami meluncur ke Iboih. Di perjalanan kami
ditelpon Bang Deden dari Casa Nemo yang bilang kami tidak dapat tiket
kapal sore itu untuk balik ke Banda Aceh. Ngeeeekkkk ngooook hangus
sudah bookingan Hotel Oasis yang sudah dibayar. Ya sudahlah, kami
putuskan make the best out of the worst. Hayyahhhh.
Iboih dengan kapal-kapal kecilnya terlihat sangat cantik. Di sini pun
laut terlihat sangat biru. Pemandangan Pulau Rubiah yang hijau sangat
memanjakan mata. Memang kadang-kadang tidak dapat kapal membuat kita
menjadi lebih sensitif dan romantis.
Di perjalanan kembali ke Sumur Tiga, di sekitar Gapang, kami
menemukan pemandangan yang luar biasa. Akhirnya kami mampir ke sebuah
warung untuk membeli rujak demi kenikmatan mengabadikan pemandangan itu.
Kami juga sempat nyasar di Pantai Kasih dan mampir Pantai Jaya.
Kembali ke Casa Nemo , Puput memperpanjang bookingan kamar, dan kami
harus pindah ke kamar lain karena kamar kami sudah ada yang pesan. Tidur
malam tidak nyenyak karena memikirkan pagi-pagi harus ke Balohan untuk
antri tiket kapal pagi.
Jam 6 tepat kami bertiga bersama Bang Deden dan Bang Iskandar
buru-buru ke Balohan. Di depan loket sudah mengantri beberapa orang,
padahal loketnya baru buka jam 7 pagi. Bang Deden mengantrikan untuk
kami. Antrian makin mengular. Kapal sudah siap, sementara kami belum
punya tiket. Kami hanya bisa ndomblong iri pada orang-orang yang sudah punya tiket dan dengan santainya masuk kapal.
Akhirnya sebelum pukul 7 loket pun buka. Orang-orang yang antri di
depan Bang Deden membeli tiketnya borongan. Setelah menunggu dengan
was-was akhirnya kami dapat tiket juga. Urusan duniawi diselesaikan,
tips-tips dibayarkan. Kami masuk ke Bahari Ekspress tercintaaaaa!
Kali ini tempat duduk masih banyak sehingga kami cukup nyaman
memilih. Pukul 8 kapal berangkat, banyak penumpang yang berdiri karena
tidak kebagian kursi. Ombak cukup besar, feri pun mengalun dan
bergoyang. Mulailah suara jackpot dari segala penjuru kapal.
Sudah keluar keringat dingin saya, untung Oliq malah tidur nyenyak
sementara banyak anak lain yang hoek-hoek sambil menangis. Alhamdulillah
tiba di Ulee Lheue dengan selamat. Siap mengeksplor Banda Aceh,
walaupun sore itu kami harus terbang kembali ke Jakarta!
Sumber : backpackology.me
No comments:
Post a Comment