Tuesday, January 8, 2013

Terpikat Kecantikan Pulau Weh – Aceh

Kalau orang Jakarta bilang mau ke Sabang, itu maksudnya pastilah Jl Sabang, jalan pendek yang terkenal karena kulinernya. Nah, kalau secara lebih luas Sabang yang dimaksud adalah Kota Sabang yang berada di ujung barat Indonesia. Ya benar, Sabang seperti di lagu “Dari Sabang Sampai Merauke” itu.
Sebenarnya kalau wisatawan bilang mau ke Sabang maksud mereka adalah Pulau Weh – tempat kota Sabang berada. Sebab, kebanyakan dari mereka tidak akan menginap di Sabang, melainkan di wilayah-wilayah pantai seperti di Iboih atau di Sumur Tiga.
Family of Wanderlust - Pulau Weh
Family of Wanderlust – Pulau Weh
Setelah penantian panjang dan beberapa kali penjadwalan ulang, akhirnya saya, Puput, dan Oliq berangkat ke Aceh pada hari libur Natal yang lalu. Puput semangat 45 karena dia belum pernah ke Aceh sebelumnya.
Akhirnya sambil menggeret dua koper (satu koper merah besar berisi peralatan diving Puput dan satu koper mungil berisi pakaian, pampers, dan perlengkapan kami lainnya), sembari mencangking seorang anak lucu, kami cabcus ke Banda Aceh.
Long story short, kami akan berangkat ke Pulau Weh sore itu juga tanpa menginap di Banda Aceh terlebih dahulu. Tiket feri sudah dibelikan pengemudi kami, Bang Kamal, lewat temannya, Sayuti. Ternyata oh ternyata, punya tiket bukan jaminan. Tampaknya jumlah tiket yang dijual melebihi kapasitas kapal. Jadi calon penumpang terpaksa mengantri di depan kapal hingga diizinkan masuk. Bila sudah penuh, mereka yang sudah punya tiket pun ga jadi berangkat.
Jadi deh kami desak-desakan di pinggir dermaga. Sempat juga dimarahi Sayuti gara-gara ga cepet-cepet antri padahal koper kami udah dimasukkan. Memang waktu itu ramainya luar biasa karena selain libur panjang, juga bertepatan dengan Sabang Jazz Festival yang menurut spanduk dihadiri Andien dan Dwiki Darmawan.
Untungnya kami bisa masuk ke kapal, walaupun Puput akhirnya ndeprok di lantai karena tidak dapat kursi. Pulau Weh here we come.
Kami dijemput staf Casa Nemo, akomodasi yang sudah kami booking sebelumnya. Casa Nemo ini letaknya di Sumur Tiga, dekat dengan salah satu homestay favorit lainnya Freddie’s. Untuk lebih jelas tentang Casa Nemo ini nanti kami buatkan accommodation review-nya.
Pantai Sumur Tiga menjelang senja
Pantai Sumur Tiga menjelang senja
Sumur Tiga ini pantai yang bagus. Lautnya biru pasirnya putih. Ombak memang sedang besar dan tinggi karena angin muson timur. Alhasil, Oliq sempat keplepek ombak di pantai depan Casa Nemo. Sehari-hari pantai ini lumayan sepi, namun ketika hari libur pantai menjadi ramai karena di Sumur Tiga sekarang juga makin banyak penginapan, dibanding terakhir kali saya ke sana. Tapi tentu saja standar ramainya tidak separah Ancol atau Anyer.
Hari berikutnya Puput diving di Iboih dan Pulau Rubiah – dia akan tulis lengkap cerita diving di Pulau Weh. Saya sama Oliq bolak balik aja ke pantai Sumur Tiga. Besoknya, baru kami bertiga motor-motoran (100 ribu sehari) keliling Pulau Weh.
Tujuan pertama adalah Tugu Nol Kilometer. Tugunya sih….ya gitu deh…tapi paling tidak kami pernah ke ujung paling barat Indonesia. PR-nya tinggal ujung paling timur nih alias Merauke. Di Tugu Nol KM ini banyak wisatawan memakai kaos I love Lhokseumawe (yang pake tanda hati itu). Tampaknya mereka adalah wisatawan lokal dari Aceh Utara tersebut. Yup benar, yang lagi heboh sama isu “ngangkang”.
Tidak lama di Tugu, kami meluncur ke Iboih. Di perjalanan kami ditelpon Bang Deden dari Casa Nemo yang bilang kami tidak dapat tiket kapal sore itu untuk balik ke Banda Aceh. Ngeeeekkkk ngooook hangus sudah bookingan Hotel Oasis yang sudah dibayar. Ya sudahlah, kami putuskan make the best out of the worst. Hayyahhhh.
Iboih dengan kapal-kapal kecilnya terlihat sangat cantik. Di sini pun laut terlihat sangat biru. Pemandangan Pulau Rubiah yang hijau sangat memanjakan mata. Memang kadang-kadang tidak dapat kapal membuat kita menjadi lebih sensitif dan romantis.
gapang
Pemandangan yang wow itu tanpa perlu diedit
Di perjalanan kembali ke Sumur Tiga, di sekitar Gapang, kami menemukan pemandangan yang luar biasa. Akhirnya kami mampir ke sebuah warung untuk membeli rujak demi kenikmatan mengabadikan pemandangan itu. Kami juga sempat nyasar di Pantai Kasih dan mampir Pantai Jaya.
Kembali ke Casa Nemo , Puput memperpanjang bookingan kamar, dan kami harus pindah ke kamar lain karena kamar kami sudah ada yang pesan. Tidur malam tidak nyenyak karena memikirkan pagi-pagi harus ke Balohan untuk antri tiket kapal pagi.
Jam 6 tepat kami bertiga bersama Bang Deden dan Bang Iskandar buru-buru ke Balohan. Di depan loket sudah mengantri beberapa orang, padahal loketnya baru buka jam 7 pagi. Bang Deden mengantrikan untuk kami. Antrian makin mengular. Kapal sudah siap, sementara kami belum punya tiket. Kami hanya bisa ndomblong iri pada orang-orang yang sudah punya tiket dan dengan santainya masuk kapal.
Akhirnya sebelum pukul 7 loket pun buka. Orang-orang yang antri di depan Bang Deden membeli tiketnya borongan. Setelah menunggu dengan was-was akhirnya kami dapat tiket juga. Urusan duniawi diselesaikan, tips-tips dibayarkan. Kami masuk ke Bahari Ekspress tercintaaaaa!
Kali ini tempat duduk masih banyak sehingga kami cukup nyaman memilih. Pukul 8 kapal berangkat, banyak penumpang yang berdiri karena tidak kebagian kursi. Ombak cukup besar, feri pun mengalun dan bergoyang. Mulailah suara jackpot dari segala penjuru kapal. Sudah keluar keringat dingin saya, untung Oliq malah tidur nyenyak sementara banyak anak lain yang hoek-hoek sambil menangis. Alhamdulillah tiba di Ulee Lheue dengan selamat. Siap mengeksplor Banda Aceh, walaupun sore itu kami harus terbang kembali ke Jakarta!

Sumber : backpackology.me

No comments:

Post a Comment